JogjaVoice.com – Batik Kawung merupakan salah satu motif batik tertua di Indonesia yang berasal dari Yogyakarta. Asal Usul dan Makna Filosofis Batik Kawung sudah sangat jelas bahwa produk ini merupakan kekayaan budaya Yogyakarta.
Motif ini dikenal dengan pola geometris berbentuk bulatan yang menyerupai buah kawung (sejenis kelapa atau kolang-kaling) yang ditata simetris. Keunikan motif ini tidak hanya terletak pada desainnya yang sederhana namun elegan, tetapi juga pada makna filosofis yang mendalam yang terkandung di dalamnya.
Sejarah Batik Kawung
Motif Kawung diyakini telah ada sejak abad ke-13, ada cerita yang menarik dari sini. Ada dua buah cerita dimana keduanya bisa jadi saling bekesinambungan. Cerita temuan batik Kawung terlihat dari ukiran dinding di beberapa candi di Jawa seperti Candi Prambanan.
Cerita ini ditimpa dengan cerita kedua dimana ini ditemukan oleh Sultan Ke Empat Mataram yang kini dikenal sebagai kota Yogyakarta. Ditemukan pada masa Kesultanan Mataram di era Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1645).
Sultan Agung terinspirasi dari bentuk buah aren yang kemudian dituangkan dalam motif batik sebagai simbol kesederhanaan dan kesucian. Pada masa itu, batik Kawung hanya boleh dikenakan oleh kalangan keraton atau bangsawan sebagai simbol kekuasaan dan kebijaksanaan.
Hanya saja ada yang menceritakan bahwa ini relevan dengan penggambaran kehidupan manusia. Faktanya batik kawung semasa dahulu hanya dipakai oleh orang Kraton. Ada pula yang menceritakan bahwa batik Kawung bermula dari cerita Nandur.
Ada beberapa cerita sehingga jika dirangkum yaitu, batik kawung telah ada sejak jaman dahulu tercipta kembali pada saat Sultan Mataram ke empat. Dipakai oleh kaum bangsawan dengan memiliki filosofis tersendiri yang bisa anda baca di bawah ini.
Makna dan Filosofi
Motif Kawung memiliki makna yang mendalam dalam budaya Jawa. Bentuk bulatannya melambangkan kesempurnaan, kemurnian, dan kesucian. Selain itu, motif ini juga menggambarkan keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan. Dalam konsep Jawa, terdapat istilah “papat madhep limo pancer” yang berarti empat arah mata angin yang menghadap ke satu pusat, mencerminkan keseimbangan antara manusia dan alam semesta.
Motif ini juga sering dikaitkan dengan bunga teratai, yang dalam budaya Timur melambangkan kesucian dan pencerahan spiritual. Hal ini menunjukkan bahwa batik Kawung tidak hanya sekadar kain, tetapi juga sarana untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan spiritual.
Ragam Motif Kawung
Seiring perkembangan zaman, motif Kawung mengalami variasi tanpa menghilangkan esensi utamanya. Beberapa varian motif Kawung antara lain:
- Kawung Picis: Memiliki bulatan kecil yang melambangkan kesederhanaan.
- Kawung Bribil: Bulatan sedikit lebih besar dari Picis, sering digunakan oleh kalangan menengah.
- Kawung Sen: Bulatan lebih besar, melambangkan kekuatan dan pengaruh.
- Kawung Gading: Memiliki bulatan besar, dahulu hanya digunakan oleh keluarga kerajaan.
Setiap varian memiliki makna dan penggunaan yang berbeda, mencerminkan stratifikasi sosial pada masa lalu.
Batik Kawung dalam Kehidupan Modern
Meskipun awalnya eksklusif untuk kalangan bangsawan, kini batik Kawung telah menjadi milik semua kalangan. Motif ini sering digunakan dalam berbagai acara, baik formal maupun non-formal, sebagai simbol penghormatan terhadap budaya dan tradisi. Desainnya yang timeless membuat batik Kawung tetap relevan dan diminati hingga kini.
Batik Kawung bukan sekadar kain dengan motif indah, tetapi juga representasi dari nilai-nilai luhur budaya Jawa. Melalui motif ini, kita diajak untuk merenungi makna kehidupan, keseimbangan, dan kesucian dalam setiap langkah kita. Sebagai warisan budaya, batik Kawung layak untuk terus dilestarikan dan dikenalkan kepada generasi mendatang.
Baca Terus Media Lokal Jogja Jogjavoice.com