Refleksi Hari Kopi Sedunia: Dari Ladang ke Cangkir, Menelusuri Ketidakadilan di Balik Harum Kopi Nusantara

Refleksi Hari Kopi Sedunia: Dari Ladang ke Cangkir, Menelusuri Ketidakadilan di Balik Harum Kopi Nusantara

Perayaan Hari Kopi Sedunia pada 1 Oktober belakangan ini identik dengan pesta diskon, peluncuran menu baru, dan hiruk-pikuk kedai modern di Indonesia. Fenomena ini sangat terasa di kota-kota besar, termasuk Yogyakarta, yang kini menjelma menjadi salah satu episentrum budaya ngopi. Wikikopi mencatat jumlah kedai di kota ini sudah melampaui 3.500 unit—belum termasuk gerai hotel. Bahkan, salah satu media nasional mencatat rata-rata terdapat 14 kedai per kilometer persegi di Kecamatan Depok.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu kota. Data Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi kopi domestik melesat tajam. Angka konsumsi per kapita meningkat dari rata-rata 1 kilogram per tahun pada 2013 menjadi 1,8 kilogram pada 2023. Kopi telah bertransformasi dari komoditas ekspor menjadi bagian integral dari gaya hidup urban kelas menengah, menciptakan perputaran uang yang ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah per tahun di satu kota saja.

Ironi di Balik Secangkir Nikmat

Namun, di balik geliat ekonomi hilir yang penuh gairah ini, industri kopi nasional menyimpan ironi mendalam. Di hulu, di lereng-lereng Merapi, Menoreh, hingga Gunung Gambar, petani masih bergulat dengan harga jual yang rendah. Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat dunia, tetapi sekitar 96% perkebunan dikelola oleh petani kecil (dengan luas lahan kurang dari 1 hektar), yang membuat posisi tawar mereka sangat lemah. Tanpa lembaga penyangga harga yang kuat, seperti Bulog pada komoditas beras, mereka terpaksa menjual biji kopi dengan harga murah kepada tengkulak atau pedagang perantara. Sebagai gambaran, BPS DIY 2023 mencatat, rata-rata pendapatan petani kopi rakyat di Kulon Progo masih di bawah Rp2 juta per bulan, jauh dari standar hidup layak.

Ketidakadilan struktural ini juga menular ke hilir. Kedai bermodal besar—yang sering didukung oleh investasi dan kemudahan akses ke perbankan—memicu perang harga melalui strategi “bakar uang”. Akibatnya, kedai-kedai kecil sering terpinggirkan. Barista, yang merupakan wajah terdepan industri, masih kerap diperlakukan sebagai pekerja lepas dengan upah minim dan kontrak tidak pasti. Sementara itu, roaster—pihak yang menambah nilai biji kopi mentah menjadi produk bernilai tinggi—kerap ditekan oleh pemilik modal untuk menjual dengan harga rendah. Di sinilah letak ironi terbesar: nikmatnya secangkir kopi di perkotaan sering kali lahir dari getir di kebun dan ketidakpastian di dapur pengolahan.

Urgensi Serikat Lintas Profesi

Hari Kopi Sedunia semestinya tidak berhenti pada romantisme ngopi bersama atau sekadar promosi dagang. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk mendorong kesadaran baru: keadilan di industri kopi hanya mungkin tercapai jika semua pelakunya berserikat dan berkolaborasi.

Indonesia memiliki modal sosial yang besar. Namun, tanpa wadah kolektif yang kuat, jutaan petani kecil—serta ribuan barista, roaster, dan pemilik kedai kecil—akan tetap menjadi fragmen yang mudah ditekan oleh kekuatan pasar dan modal besar.

Kita bisa belajar dari negara lain. Vietnam, melalui Asosiasi Kopi Vietnam (VICOFA), berhasil mengatur harga ekspor dan melindungi petani dari permainan tengkulak. Brasil, lewat Instituto Brasileiro do Café (IBC), pernah menetapkan harga minimal bagi petani kecil. Ironisnya, Indonesia sebagai produsen kopi global, belum memiliki instrumen kolektif sekuat itu.

Namun, benih kesadaran mulai tumbuh. Komunitas barista di kota-kota besar kini aktif menggelar pelatihan mandiri hingga forum advokasi. Pemilik kedai kecil perlahan menjalin kerja sama untuk berbagi jaringan pemasok dan melawan praktik predatory pricing. Dongeng Kopi melihat urgensi besar dalam keterhubungan ini. Serikat lintas profesi—yang menyatukan petani, roaster, barista, dan pemilik kedai—dapat menjadi penyangga harga sekaligus kekuatan advokasi bagi kebijakan publik. Serikat semacam ini adalah jawaban paling realistis untuk memperkuat rantai nilai kopi nasional secara holistik.

Negara Harus Hadir

Serikat yang kuat membutuhkan kehadiran negara yang berpihak. Pemerintah tidak boleh hanya menjadi penonton, melainkan harus mengambil peran sebagai moderator kepentingan dari hulu ke hilir. Dengan nilai ekspor kopi Indonesia pada 2023 yang mencapai sekitar USD 1,2 miliar (BPS, 2022), keberpihakan negara seharusnya sama kuatnya seperti pada komoditas strategis lain, seperti beras atau sawit.

Pemerintah perlu mempertimbangkan instrumen kebijakan, seperti:

·         Harga Dasar (Floor Price): Menetapkan harga minimal beli biji kopi dari petani untuk mencegah kerugian, mirip fungsi Bulog pada beras.

·         Buffer Stock: Menciptakan cadangan penyangga untuk mengontrol stabilitas harga di pasar.

·         Forum Lintas Rantai Pasok Daerah: Pemerintah daerah dapat menjadi motor penggerak dengan mempertemukan petani, roaster, barista, dan pemilik kedai secara rutin untuk merumuskan standar harga, mutu, dan promosi kopi lokal yang adil.

Jawaban atas persoalan pahit manisnya industri kopi bukan sekadar mengutuk mafia harga atau meratapi dominasi modal besar. Jawabannya adalah solidaritas kolektif yang didukung oleh kebijakan yang berpihak. Petani, barista, pemilik kedai, dan roaster harus berdiri bersama dalam satu serikat yang kokoh. Dengan begitu, negara tidak lagi berhadapan dengan individu yang lemah, melainkan komunitas yang kuat dan siap berunding. Hari Kopi Sedunia harus menjadi refleksi: Kopi bukan cuma gaya hidup, melainkan soal keberpihakan dan keadilan ekonomi. Harumnya kopi di cangkir tidak boleh lagi menyisakan getir dan ketidakpastian di kebun dan di meja bar.

*) Renggo Darsono, Juru Cerita Dongeng Kopi, kedai kecil di pinggiran candi-candi Kalasan.

Total
0
Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts