JogjaVoice.com – Isu kontroversial mencuat dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang membahas uji materi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Dalam sidang tersebut, ahli hukum dan mantan pimpinan KPK Chandra M Hamzah mengkritisi frasa “setiap orang” dalam pasal tersebut karena bisa menimbulkan penafsiran berlebihan dan absurd.
Chandra memberikan ilustrasi yang mengejutkan namun logis secara tekstual: seorang pedagang pecel lele yang berjualan di atas trotoar secara ilegal bisa dikenakan pasal Tipikor. Mengapa? Karena ia dianggap melawan hukum, memperkaya diri sendiri, dan secara tidak langsung merugikan negara—baik dari sisi ketertiban umum maupun nilai ekonomi publik.
Menurut Chandra, tafsir terlalu luas atas pasal tersebut membuka ruang bagi siapa pun—bahkan warga biasa tanpa jabatan atau akses keuangan negara—untuk dikenai tindak pidana korupsi. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan prinsip kejelasan hukum (lex certa) dan penafsiran yang sempit (lex stricta) dalam hukum pidana. Ia pun menyarankan agar Pasal 2 ayat (1) dihapus, dan Pasal 3 dipersempit hanya berlaku untuk penyelenggara negara atau pegawai negeri, sesuai dengan konvensi anti-korupsi internasional (UNCAC).
Namun, pendapat Chandra ini ditanggapi oleh KPK melalui Wakil Ketua Johanis Tanak yang menyatakan bahwa penafsiran semacam itu tidak berdasar. Ia menegaskan bahwa tidak mungkin secara logika dan praktik hukum, seorang pedagang pecel lele bisa dijerat pasal korupsi. Menurut Johanis, KPK tidak pernah menjerat individu yang tidak memiliki kaitan dengan jabatan publik atau pengelolaan keuangan negara. Penafsiran hukum, katanya, harus tetap rasional dan sesuai konteks.
Ahli lain seperti Amien Sunaryadi, juga mantan pimpinan KPK, mendukung perlunya pembatasan tafsir. Ia menyebut bahwa praktik korupsi yang nyata dan dominan di lapangan adalah suap, bukan sekadar pelanggaran administratif atau ekonomi skala kecil yang merugikan negara secara teoritis.
Contoh Ekstrem: Siapa Bisa Terjerat Jika Tafsir Diperluas?
Jika tafsir “setiap orang” dalam UU Tipikor tidak dipersempit, maka dalam skenario ekstrem, beberapa contoh berikut ini bisa dianggap melanggar:
- Pedagang Kopi di Trotoar Malioboro, Jogja
Berjualan tanpa izin di atas fasilitas publik, memperkaya diri secara melawan hukum, dan dianggap “merugikan” perekonomian formal di kawasan wisata. - Penjual Gorengan yang Menyogok Satpol PP
Memberi uang agar tidak ditertibkan bisa digolongkan sebagai suap atau gratifikasi. - Pengelola Pedagang Fiktif Penerima Dana UMKM
Mencairkan dana bantuan, tapi angkringannya tidak pernah beroperasi—berpotensi dijerat korupsi berjemaah. - Pemilik Lapak Pasar yang Menyewa Tanah Milik Negara Lewat Jalur Tidak Sah
Dapat dianggap memperkaya diri dari fasilitas negara tanpa izin resmi. - Tukang Parkir Liar yang “Setor” ke Oknum Kelurahan
Bisa masuk dalam jaringan gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang.
Kesimpulannya, sidang MK ini bukan sedang menyerang pedagang kecil, tetapi menyoroti pentingnya batasan yang jelas dalam UU Tipikor agar tidak menjadi jebakan hukum yang berlebihan. Tafsir yang terlalu longgar dapat menciptakan ketidakpastian hukum bahkan bagi rakyat kecil yang hanya ingin mencari nafkah. Karena itu, uji materi ini penting untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum yang proporsional.