KEDAI KOPI: DARI MARKAS REVOLUSI KE LABORATORIUM WACANA RAKYAT

REVOLUSI DARI LAB KOPI

JogjaVoice.com – Sejarah mencatat, kedai kopi bukan cuman tempat mengasup kafein Bersama cangkir cangkir yang lalu Lalang di meja meja, melainkan arsitek peradaban, tempat lahirnya opini publik, bursa saham, hingga ide-ide revolusi. Di Indonesia, semangat transformatif ini diwarisi oleh ruang-ruang diskusi rakyat, mulai dari Warung Kopi Surya Indah di Sumatera yang jadi tempat orang membicarakan kemerdekaan hingga Dongeng Kopi di Jogja yang punya fungsi lain, sebagai ‘sekolah tanpa kurikulum’. Kopi, dengan demikian, telah melampaui fungsi komoditasnya, menjadi medium vital bagi pertukaran gagasan.

Pertautan Awal Pertukaran Gagasan (Dari Global ke Historis)

Di balik setiap aroma kopi yang mengepul, selalu tersimpan gagasan yang sedang diracik. Kedai kopi di berbagai zaman dan kota telah mencatatkan diri sebagai simpul utama perubahan sosial. Mereka adalah ruang publik egaliter pertama di mana ulama, pedagang, sastrawan, dan rakyat biasa bisa berdialog setara, sebuah fenomena yang tak jarang mengguncang tatanan kekuasaan. Kopi, jelas, adalah algorima awal pertukaran informasi publik.

Awal Mula Opini Publik

Peran kedai kopi sebagai melting pot gagasan kritis dimulai pada abad ke-16. Di Kiva Han, Istanbul, yang disebut-sebut sebagai rumah kopi pertama di dunia, lahir benih awal opini publik yang menjadi medium kritik sosial terhadap istana Utsmaniyah.

Dua abad berselang, di Le Procope, Paris, aroma kopi turut menyertai perdebatan intelektual Eropa. Filsuf-filsuf pencerahan seperti Voltaire dan Diderot menyusun Encyclopédie—ensiklopedia yang membuka jalan bagi Revolusi Prancis 1789. Sementara di London, tradisi Penny University di kedai kopi melahirkan inovasi finansial. Dari Jonathan’s Coffee House lahir bursa saham pertama, dan Lloyd’s bertransformasi menjadi industri asuransi global.

Menjelang Revolusi dan Perlawanan

Semangat perlawanan pun turut diseduh di cangkir kopi. Di Amerika Serikat, menjelang kemerdekaan, kedai-kedai di Boston menjadi markas rahasia para patriot seperti Samuel Adams yang merancang Boston Tea Party—peristiwa penting penyulut Revolusi Amerika 1776. Kopi, saat itu, selain menggantikan teh (minuman kolonial Inggris), juga menjadi simbol perlawanan.

Di Asia pun demikian. Pada 1957, All India Coffee House menjadi “ruang demokratis sejati terakhir” tempat mahasiswa, aktivis, dan seniman kiri berdiskusi tentang demokrasi dan sosialisme di tengah represi politik.

WILAYAH/PERIODEKEDAI KOPI (CONTOH)  GAGASAN
Utsmaniyah (Abad 16) Kiva Han (Istanbul) Opini Publik, Satire Sosial, Ide Reformasi
Eropa – Inggris (Abad 17) Jonathan’s, Lloyd’s Bursa Saham, Asuransi Modern
Eropa – Prancis (Abad 18) (London) Café Procope Encyclopédie, Revolusi Prancis 1789
Amerika – AS (Abad 18)       (Paris) Green Dragon Boston Tea Party, ide revolusi tercetus
Afrika – Mesir (Abad 18)   Tavern    El-Fishawy        Pertautan Sastrawan dan Intelektual
Asia – India (Abad 20) India Coffee House Warkop Koperasi dan Pergerakan Kemerdekaan
Asia – Indonesia (Abad 20)Surya Indah (Karo)Siasat Revolusi dan Nasionalisme

Warisan Pergerakan di Warung Kopi Nusantara

Indonesia memiliki kisah revolusionernya sendiri. Pada era kolonial dan awal kemerdekaan, warung kopi (warkop) menjadi sekolah informal bagi nasionalisme. Warung kopi sederhana seperti Surya Indah di Tiga Binanga, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang berada di jalur lintas Sumatera, menjadi titik kumpul bagi wartawan rakyat dan pemuda pergerakan untuk menyusun siasat republik. Warkop menegaskan: wacana kemerdekaan dirajut di meja kayu, bukan hanya di ruang rapat formal.

Dongeng Kopi: ‘Sekolah Tanpa Kurikulum’ di Pinggiran Sleman

Tradisi panjang ini, di Indonesia modern, menemukan pewarisnya di berbagai daerah. Salah satunya adalah Dongeng Kopi di Sleman, Yogyakarta, sebuah ruang yang dibangun di atas ‘ramesan’ banyak tautan orang orang. Jauh dari citra kedai kopi elit, Dongeng Kopi mewarisi elan vital perubahan sosial yang pernah bersemayam di Kiva Han, El Fishawy, Le Procope, Penny University, Green Dragon Tavern, Indian Coffee House.

Ruang ini bukan sekadar tempat minum, melainkan ruang sosial untuk sama sama belajar. Di sinilah petani kopi, pemuda, penulis, mahasiswa, dan aktivis duduk setara, menciptakan ekosistem wacana dan empati. Renggo Darsono, pendirinya, menyebut, “Setiap bulir biji kopi adalah Dongeng panjang. Rangkuman dari babad, hikayat, epos, yang selalu bisa dipetik jadi pelajaran.”

Seperti Penny University yang mencerdaskan rakyat lewat diskusi terbuka, Dongeng Kopi menjalankan fungsinya sebagai sekolah tanpa kurikulum. Ia membuka ruang belajar dua arah: petani belajar memahami rantai pasok hilir, sementara mahasiswa belajar memahami realitas petani yang diombang-ambingkan kebijakan. Tempat ini bahkan melahirkan Kerepdolan—kerukunan pelanggan dongeng kopi lan kekancan—himpunan berjejaring lintas kelas sosial yang berpikir kritis.

“Kami memihak pada keadilan rantai pasok, pada literasi rakyat, dan pada pengetahuan yang bisa diakses siapa saja,” terang Ayuri Murakabi, sang kerani. Mereka memilih melambat, bukan untuk romantisme, melainkan memberi waktu bagi makna untuk tumbuh.

Kopi sebagai Medium Kesadaran Sosial

Perubahan besar, seperti kata sejarah, kerap berawal dari obrolan kecil di ruang sederhana. Kopi, dalam konteks ini, melampaui minuman; ia adalah medium kesadaran sosial. Jika di masa lalu kedai melahirkan revolusi dan ensiklopedia, kini ruang seperti Dongeng Kopi diharapkan melahirkan ekonomi wacana rakyat—di mana nilai diukur dari partisipasi dan pertukaran gagasan, bukan sekadar kapital.

Naguib Mahfouz, di kafe legendaris Kairo El Fishawy, pernah menulis, “Dialog adalah cara bertahan hidup.”

Di era algoritma dan disinformasi yang kian masif, dialog yang diseduh di cangkir kopi mungkin adalah satu-satunya cara bertahan yang tersisa. Agenda-agenda yang berlangsung rutin di Dongeng Kopi seperti Galang Jambang (gelanggang jam terbang magang), Ngaji Kopi, dan Babaran (baca buku bareng di Dalangan), adalah upaya melestarikan warisan kedai-kedai kopi terdahulu sebagai lokomotif perubahan peradaban.

Renggo Darsono

juru cerita Dongeng Kopi

Total
0
Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *