Wawancara Eksklusif: Menyoroti Konflik Manusia-Monyet Ekor Panjang di Gunungkidul

HK. Adinoto, S.P., M.P. saat diwawancara mengenai penanganan Monyet Ekor Panjang (MEP). (Gambar: Dok. KKN Monggol 138 2025)

Konflik antara manusia dan kera sebenarnya tidak ada di masa lalu. Namun, dengan adanya pembangunan seperti jalan lintas selatan dan pembukaan akses infrastruktur oleh pemerintah, ekosistem juga ikut terdampak. Gunungkidul kini tumbuh dan berkembang terkait dengan industri pariwisata yang juga memengaruhi ekosistem itu sendiri, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus menghadapinya.

Sejumlah daerah di Gunungkidul, termasuk Padukuhan Monggol di Saptosari, kini menghadapi masalah serius: serangan kawanan monyet ekor panjang (MEP) yang merusak lahan pertanian dan mengancam ketahanan pangan lokal. Fenomena ini memicu kerugian signifikan bagi petani, yang selama ini mengandalkan hasil bumi seperti jagung dan singkong. Di tengah keresahan warga, muncul pertanyaan fundamental: apakah monyet-monyet ini adalah hama yang harus dibasmi, atau justru makhluk yang terdesak karena habitatnya terusik?

Permasalahan ini bukan sekadar konflik antara manusia dan satwa liar, melainkan cerminan kompleksitas keseimbangan ekosistem yang terganggu. Pemerintah daerah dan berbagai pihak, termasuk kelompok mahasiswa KKN, terus berupaya mencari solusi. Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah mudah, mengingat status dan penanganan MEP yang berbeda dari hama pertanian konvensional.

Untuk memahami lebih dalam akar permasalahan, dampaknya terhadap masyarakat, serta upaya mitigasi yang sedang dan akan dilakukan, pada Rabu (23/7), Marinda salah satu Mahasiswa KKN yang bertugas di Kalurahan Monggol berbincang langsung dengan Bapak Hana Kadaton Adinoto, S.P., M.P., selaku Kepala Bidang Konservasi dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Gunungkidul. Dalam wawancara eksklusif ini, Bapak Adinoto menjelaskan pandangan DLH terhadap isu MEP, upaya yang telah dilakukan, hingga proyeksi penanganan jangka panjang yang diharapkan dapat meredakan konflik ini secara berkelanjutan.

Sejauh mana penyebaran konflik antara warga dan monyet ekor panjang di wilayah Gunungkidul?

Sebenarnya, monyet ekor panjang ini belum bisa disebut hama karena Kementerian Pertanian belum pernah memasukkannya dalam kategori hama. Jika sudah masuk kategori hama, seperti padi diserang wereng, penanganannya tinggal diperintahkan untuk dibasmi dengan obat-obatan, dan selesai. Namun, cara menanganinya tidak seperti itu. Penanganan monyet ekor panjang sama halnya dengan menangani sebuah ekosistem lingkungan. Dalam lingkungan itu ada manusia, hewan, dan tanaman; seharusnya kita juga bersikap arif terhadap lingkungan.

Mengapa MEP menyerang lahan pertanian? Karena memang lahan-lahan yang dulu merupakan area bermain dan mencari makan kera sudah rusak. Kerusakan ini, tentu saja, adalah dampak dari aktivitas manusia itu sendiri. Oleh karena itu, kita melihat ini sebagai bagian dari penyesalan manusia yang harus ditebus dengan cara mengembalikan habitat mereka seperti dulu lagi.

Konflik antara manusia dan kera sebenarnya tidak ada di masa lalu. Namun, dengan adanya pembangunan seperti jalan lintas selatan dan pembukaan akses infrastruktur oleh pemerintah, ekosistem juga ikut terdampak. Gunungkidul kini tumbuh dan berkembang terkait dengan industri pariwisata yang juga memengaruhi ekosistem itu sendiri, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus menghadapinya.

Apa saja upaya yang telah dilakukan DLH Gunungkidul untuk merespons konflik ini? Apakah sudah dilakukan pemetaan lokasi rawan atau pelibatan masyarakat dalam mitigasi?

Penanganan monyet ekor panjang ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi bicara hulu ke hilir. Artinya, hulunya harus kita perbaiki. Kita perbaiki habitatnya, kemudian bagaimana mereka juga memiliki makanan yang tersedia serta arena bermain yang tersedia.

Untuk masalah makanan, tentu saja yang pertama adalah dengan menanam atau membangun kebun buah-buahan. Pilihan buah-buahan ini adalah jenis yang kurang disukai manusia, tapi disukai oleh kera. Contohnya pisang biji, pepaya hutan, jambu klutuk, talok, dan duwet. Tanaman-tanaman inilah yang harus ditanam atau dibangun oleh pemerintah untuk mengembalikan area mencari makan mereka. Kita juga perlu menanam pohon-pohon besar dan berindang sebagai arena permainan bagi kera, karena ini akan adil bagi mereka.

Kita tidak bisa tiba-tiba menganggap ini hama dan harus membunuhnya. Itu bukan solusi atau jalan keluar. Manusia yang diberikan akal pikiran oleh Tuhan harus menggunakannya, karena hanya kitalah yang bisa mengubah atau mengatasi masalah ini. Kita tidak mungkin menyuruh hewan untuk memperbaiki ekosistem yang ada; kitalah yang diberi akal pikiran untuk membangun itu.

Untuk jangka pendek, saat ini kami memberikan stimulus makan kepada monyet di alam bebas, seperti ketela dan pisang, setiap tiga hari sekali. Ini dilakukan untuk mengantisipasi agar mereka tidak menyerang lahan pertanian secara membabi buta. Program stimulus makan ini sudah berjalan dua tahun, sejak tahun 2023-2024.

Kemudian, di tahap berikutnya, kami akan mulai membangun kawasan kebun buah. Penanaman mungkin akan dimulai pada tahun 2026-2027, kemungkinan diawali dengan semacam proyek percontohan. Tidak mungkin kita membangun sebuah kawasan penanaman secara instan, karena menanam itu butuh waktu panjang. Setelah ditanam, harus diberi hara hingga tanamannya memberikan hasil. Pemberian hara ini juga membutuhkan biaya terkait pemupukan, penyiraman, dan perawatannya. Pemerintah tidak akan diam; pemerintah akan terus memikirkan rakyatnya, warganya, khususnya para petani.

Kami tidak akan mengorbankan masyarakat untuk melakukan sterilisasi hewan, khususnya pejantan. Mengapa sterilisasi pejantan? Karena monyet ekor panjang ini, jika stres, larinya adalah kawin. Bahkan hasil penelitian dari Fakultas Kehutanan menunjukkan bahwa pejantan bisa kawin hingga 17 kali sehari. Inilah mengapa kami melakukan sterilisasi pada pejantan, sehingga meskipun mereka kawin berkali-kali setelah disterilisasi, mereka tidak akan bisa membuahi betinanya. Secara ekosistem, ini bisa mengurangi populasi atau perkembangbiakan monyet ekor panjang. Yang jelas, kami tidak mungkin memerintahkan pembunuhan secara masif. Seperti yang saya katakan tadi, sebenarnya ini tidak masuk kategori hama. Jika itu masuk dalam kamus Kementerian Pertanian sebagai hama, mungkin ada perintah untuk membunuh. Namun, hal itu akan ditentang oleh LSM pemerhati lingkungan, termasuk pemerhati primata, sehingga negara akan mendapat sorotan terkait konsensus perlindungan hewan.

Total
0
Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts