Selain kerugian materiil, serangan MEP juga berdampak besar terhadap kondisi psikologis warga. Para petani hidup dalam kecemasan karena ladang mereka sewaktu-waktu bisa diserang MEP. Bahkan, struktur sosial masyarakat pun berubah—petani kini harus bergantian menjaga ladang dari subuh hingga magrib, dan sebagian warga memilih tinggal di ladang selama musim panen untuk melindungi hasil pertanian mereka.
JogjaVoice.com, Monggol 23 Juli 2025 — Konflik antara manusia dan satwa liar, khususnya monyet ekor panjang (MEP), telah menjadi isu kronis di berbagai wilayah Indonesia. Di Gunungkidul, masalah ini kian meresahkan petani, dengan kawanan MEP terus-menerus merusak lahan pertanian dan mengancam mata pencaharian warga. Ini bukan lagi sekadar gangguan musiman, melainkan ancaman serius yang menguras tenaga, harta, dan bahkan mental masyarakat.
Laporan kerugian panen yang mencapai 50 persen memicu kemarahan sekaligus kebingungan di kalangan petani, yang merasa tak berdaya menghadapi serangan masif ini. Sementara pemerintah berupaya mencari solusi, para petani di garis depan masih mencari cara efektif untuk melindungi hasil jerih payah mereka. Kondisi ini menyoroti kompleksitas masalah yang bukan hanya tentang hama, tetapi juga tentang keseimbangan ekosistem yang terganggu dan kebutuhan mendesak akan penanganan yang komprehensif.
Untuk memahami lebih jauh dampak konflik ini dari sudut pandang masyarakat terdampak dan upaya yang sudah dilakukan di lapangan, pada Rabu (23/7) kami berbincang dengan Muhammad Daffa Muzhaffar, perwakilan mahasiswa KKN 117 UIN Sunan Kalijaga, yang berposisi langsung di tengah-tengah permasalahan ini.
Bisa dijelaskan seperti apa kondisi terkini konflik antara warga Monggol dan monyet ekor panjang?
Berdasarkan hasil observasi kami selama KKN di Padukuhan Monggol dan wilayah Gunungkidul pada umumnya, konflik antara warga dan monyet ekor panjang (MEP) masih menjadi ancaman serius. Keberadaan MEP sangat meresahkan petani karena sering merusak ladang dan mengakibatkan penurunan hasil panen yang signifikan, bahkan hingga 50 persen. Hal ini menimbulkan kemarahan warga, namun di sisi lain mereka merasa tidak tahu cara yang tepat untuk mengatasi MEP.
Jumlah MEP pun semakin hari semakin banyak, mencapai ratusan bahkan ribuan ekor. Salah satu petani di Kalurahan Monggol menuturkan bahwa empat tahun lalu warga sempat berinisiatif mengundang orang dari suku Baduy untuk menangkap MEP. Usaha ini berhasil secara signifikan mengurangi populasi dari ratusan hingga tersisa belasan saja. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, populasi monyet kembali bertambah karena tidak adanya penanganan berkelanjutan, termasuk dari dinas pemerintah terkait. Ini menyebabkan para petani kesal akibat kerugian setiap kali panen tiba.
Para petani yang kami temui umumnya mengeluhkan kerugian besar akibat kerusakan ladang dan hasil panen. Sebagai contoh, jika sebelumnya mereka dapat memanen sekitar 100 kg hasil pertanian, saat ini hanya mampu memperoleh 50–60 kg saja. Kerusakan tidak hanya terjadi pada hasil panen, namun juga pada tanaman secara keseluruhan.
Seberapa luas wilayah yang terdampak serangan monyet? Apakah hanya terjadi di satu padukuhan atau lebih?
Menurut pengamatan kami, serangan MEP tidak hanya terjadi di Padukuhan Monggol, tetapi juga hampir menyebar ke berbagai wilayah bagian selatan Gunungkidul. Walaupun pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) menyebutkan bahwa populasi MEP hanya sekitar 150 ekor, kesaksian para warga dan petani menyatakan jumlahnya jauh lebih besar, bahkan diperkirakan mencapai ribuan.
MEP ini terbagi dalam beberapa koloni, dan tiap padukuhan diyakini memiliki koloninya sendiri. Oleh karena itu, dugaan bahwa MEP hanya berpindah-pindah tempat dari satu wilayah ke wilayah lain tidak sepenuhnya tepat, sebab populasi MEP di berbagai tempat cukup mandiri dan lokal.
Apa saja kerugian yang dialami warga, baik dari sisi hasil panen, jenis tanaman yang rusak, maupun dampak psikologis atau rasa aman?
Para petani yang kami temui umumnya mengeluhkan kerugian besar akibat kerusakan ladang dan hasil panen. Sebagai contoh, jika sebelumnya mereka dapat memanen sekitar 100 kg hasil pertanian, saat ini hanya mampu memperoleh 50–60 kg saja. Kerusakan tidak hanya terjadi pada hasil panen, namun juga pada tanaman secara keseluruhan.
Selain kerugian materiil, serangan MEP juga berdampak besar terhadap kondisi psikologis warga. Para petani hidup dalam kecemasan karena ladang mereka sewaktu-waktu bisa diserang MEP. Bahkan, struktur sosial masyarakat pun berubah—petani kini harus bergantian menjaga ladang dari subuh hingga magrib, dan sebagian warga memilih tinggal di ladang selama musim panen untuk melindungi hasil pertanian mereka. Hal ini membuktikan bahwa bukan hanya hasil panen yang terdampak, tetapi juga psikologis masyarakat.
Apakah ada catatan atau dokumentasi seberapa sering dan dalam jumlah berapa monyet datang ke area pemukiman atau pertanian warga?
Selama masa KKN, kami memperoleh dokumentasi dan kesaksian langsung dari warga mengenai aktivitas MEP. Dalam sekali datang, jumlah MEP bisa mencapai ratusan ekor. Serangan bisa terjadi kapan saja tanpa waktu yang pasti, sehingga petani harus selalu siaga. Bahkan ketika ladang ditinggal selama 5–10 menit, MEP bisa langsung masuk dan merusak tanaman meskipun ladang telah dipasangi jaring pelindung sederhana. Kami juga menerima laporan bahwa kawanan MEP pernah melewati area depan rumah warga, yang menunjukkan bahwa ancaman ini tidak hanya terbatas di ladang, tetapi juga mendekati permukiman penduduk.
Sejauh ini, apa saja langkah yang sudah dilakukan warga untuk menangani serangan monyet secara mandiri? Apakah efektif?
Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh warga antara lain adalah memasang jaring pelindung sederhana di ladang, menyalakan petasan untuk mengusir MEP, dan dalam beberapa kasus ekstrem, ada yang sampai menembaki MEP. Sayangnya, semua upaya ini bersifat jangka pendek dan belum efektif. MEP dikenal sebagai hewan yang cerdik dan tidak jera dengan tindakan pengusiran. Oleh karena itu, meskipun warga telah berusaha keras, hingga saat ini belum ditemukan solusi yang benar-benar ampuh untuk mengatasi serangan MEP secara berkelanjutan. Jika dibilang apakah efektif? Agaknya masih jauh dari kata efektif.
Apa yang sudah dilakukan tim KKN dalam membantu warga menghadapi masalah ini? Apakah ada pendekatan tertentu yang kalian gunakan?
Sejauh ini, dalam menangani isu ini, kami telah melakukan beberapa upaya. Pertama, kami membantu warga untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah, khususnya kepada instansi terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH), agar pihak DLH lebih menyadari urgensi permasalahan MEP ini.
Kedua, kami juga sedang melakukan kajian lebih mendalam mengenai permasalahan MEP dari perspektif kehutanan, peraturan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah yang berkaitan.
Ketiga, kami berupaya mengajak kelompok KKN lain, khususnya yang bertugas di wilayah Gunungkidul, untuk turut mengangkat isu MEP ini agar menjadi gerakan yang masif. Tujuannya adalah mendorong perhatian serius dari pemerintah maupun masyarakat dalam menangani masalah ini. Beberapa kelompok KKN lain pun merespons dengan rencana untuk mengadakan kegiatan lanjutan yang lebih serius sebagai tindak lanjut dari kegiatan sosialisasi yang telah kami lakukan. Hal ini didasari oleh evaluasi bahwa hasil dari sosialisasi sebelumnya dirasa masih kurang memuaskan.
Bahkan, saat ini telah direncanakan untuk mengundang pihak DLH, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), serta LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup untuk duduk bersama dalam forum diskusi. Harapannya, dari forum tersebut tidak hanya muncul wacana, tetapi juga lahir solusi nyata dan langkah konkret untuk mengatasi permasalahan ini secara tuntas.
Melihat hasil dari kegiatan sosialisasi yang sejauh ini masih sebatas wacana dari pihak DLH dan bahkan direncanakan baru akan terealisasi dalam dua hingga tiga tahun ke depan, kami merasa perlu mengambil langkah lanjutan.
Apa yang kalian harapkan dari kegiatan sosialisasi bersama DLH ini? Apakah sudah ada rencana tindak lanjut setelah kegiatan berlangsung?
Kami memiliki harapan besar bahwa setelah kegiatan sosialisasi bersama DLH ini, pihak DLH dapat segera merumuskan dan menjalankan solusi yang konkret, tidak hanya bersifat jangka pendek tetapi juga berkelanjutan dalam jangka panjang. Kami berharap DLH tidak hanya memberikan wacana, tetapi juga menunjukkan aksi nyata yang berdampak langsung bagi masyarakat, khususnya para petani.
Kami juga ingin menegaskan bahwa perhatian dan perlindungan tidak hanya diberikan kepada satwa seperti MEP, tetapi juga kepada para petani yang selama ini terdampak langsung. Petani seharusnya mendapatkan kebijakan yang lebih adil dan menguntungkan, karena merekalah yang menjadi garda terdepan dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia; mereka adalah pahlawan pangan bangsa.
Melihat hasil dari kegiatan sosialisasi yang sejauh ini masih sebatas wacana dari pihak DLH dan bahkan direncanakan baru akan terealisasi dalam dua hingga tiga tahun ke depan, kami merasa perlu mengambil langkah lanjutan. Kami merencanakan untuk mengangkat isu ini ke media sosial serta mengajak kelompok KKN lain, khususnya yang berada di wilayah Gunungkidul, untuk turut menyuarakan persoalan ini.
Kami berharap dengan semakin meluasnya perhatian terhadap isu ini melalui media sosial dan keterlibatan banyak pihak, pemerintah dapat segera turun tangan dan menyadari bahwa permasalahan MEP di wilayah Gunungkidul sudah berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan dan membutuhkan penanganan serius sesegera mungkin.