Falsafah “budaya adalah senjata” dimaknai sebagai penggunaan budaya untuk mencapai kesejahteraan (keraharjaan). Budaya, sebagai cara hidup yang berkembang dan diwariskan, terdiri dari unsur-unsur rumit seperti adat istiadat, bahasa, seni, sistem agama, dan politik.
Hargorejo, 31 Juli 2025 – Dusun Sangkrek di Kokap, Kulon Progo, dikenal dengan lanskap perbukitannya yang kaya akan tanaman penunjang kebutuhan masyarakat. Sebagai dusun terluas di Kalurahan Hargorejo dengan cakupan 100,10 hektar, Sangkrek juga memiliki topografi curam dan kemiringan tanah yang simetris, berlokasi di ketinggian. Masyarakatnya tumbuh dengan kuat dalam spirit kultur Jawa yang diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan.
Bagi warga Sangkrek, budaya adalah senjata. Filosofi ini sangat relevan mengingat Sangkrek merupakan bagian vital dari Desa Hargorejo, yang telah dinobatkan sebagai Desa Budaya oleh Kementerian Kebudayaan Provinsi DIY. Falsafah “budaya adalah senjata” dimaknai sebagai penggunaan budaya untuk mencapai kesejahteraan (keraharjaan). Budaya, sebagai cara hidup yang berkembang dan diwariskan, terdiri dari unsur-unsur rumit seperti adat istiadat, bahasa, seni, sistem agama, dan politik.
Warga Sangkrek secara sadar menjadikan budaya sebagai fondasi setiap kegiatan. Mereka tidak hanya melestarikannya, tetapi juga menerapkan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Dalam kegiatan ekonomi, prinsip “urip iku urup” (hidup harus memberi manfaat) mendorong pedagang untuk jujur dan tidak tamak, serta memicu UMKM setempat untuk bersaing secara sehat.
Aspek sosial masyarakat masih kental dengan semangat gotong royong dan tradisi sambatan, di mana warga saling membantu dalam membangun rumah, panen padi, atau menyelenggarakan hajatan. Di bidang politik, prinsip “musyawarah mufakat” dan “ngemong” (pemimpin merawat, bukan menguasai) menjadi dasar model kepemimpinan Jawa yang paternalistik, mengedepankan keteladanan, kesabaran, dan kesederhanaan (prasojo).
Nilai-nilai luhur ini menginspirasi kelompok 49 Kuliah Kerja Nyata (KKN) UIN Sunan Kalijaga untuk merancang program kerja bertema “Sangkrek Raharja, Sangkrek Berbudaya”. Sejalan dengan falsafah “Budaya adalah Senjata”, setiap program KKN berlandaskan budaya Jawa yang perlu dipertahankan, meski nilai-nilainya dapat diterjemahkan secara universal. Ini karena pada dasarnya budaya adalah cara setiap individu dan kelompok memandang dan memperlakukan hidup.
Inisiatif ini sejalan dengan gagasan Pentas Fasilitasi dari DPRD Kabupaten Kulon Progo, yang bertujuan mendukung pelestarian seni dan kebudayaan di pelosok daerah. Program ini “menjamur” hingga Dusun Sangkrek, mendorong keterlibatan proaktif masyarakat dan kelompok seni budaya lokal sebagai penampil.
Kepala Padukuhan Sangkrek, Bapak Sakiyan, berdiskusi dengan warga dan tim KKN UIN Sunan Kalijaga untuk menyelenggarakan Pentas Fasilitasi Kebudayaan. Tercetuslah ide untuk menyatukan pentas tersebut dengan peringatan syukuran tahunan Merti Dusun, yang juga melibatkan kegiatan bersih lingkungan. Komitmen bersama ini menghasilkan agenda kerja bakti pada Rabu dan Kamis, 16 dan 17 Juli 2025, untuk membersihkan serta mempercantik Dusun Sangkrek dengan riasan dan umbul-umbul menyambut pesta rakyat dan Gelar Seni Budaya.
Pada Jumat, 18 Juli, warga dibantu tim KKN UIN Sunan Kalijaga mempersiapkan segala detail acara untuk keesokan harinya, mulai dari konsumsi, peralatan, dekorasi panggung, susunan acara, hingga mendampingi gladi bersih Sanggar Seni Jathilan Dusun Sangkrek. Puncak acara dimulai pada Sabtu, 19 Juli, pukul 12.15 WIB, dengan pagelaran Wayang Kulit yang berlangsung hingga pukul 16.30 WIB.
Acara dilanjutkan pada pukul 19.00 WIB, diawali sambutan dari Kepala Kalurahan Hargorejo yang menyampaikan selamat dan informasi agenda pamong Kalurahan. Dilanjutkan sambutan dari Ibu Kepala Kapanewon Kokap yang juga mengucapkan selamat atas penyelenggaraan Merti Dusun. Kemudian, Wayang Kulit kembali dipentaskan semalam suntuk, menarik antusiasme berbagai kalangan masyarakat.
Esok harinya, Minggu, 20 Juli, diselenggarakan pentas Jathilan oleh sanggar lokal Sangkrek. Malam harinya, pentas Tari Angguk khas Kulon Progo ditampilkan. Tari Angguk, yang berkembang sejak masa kolonial, melambangkan tentara pribumi sebagai “boneka kolonial” yang hanya bisa patuh dan tunduk, digambarkan dengan “anggukan” kepala yang banyak dikoreografikan dalam tarian.
Kolaborasi ini menunjukkan dinamika positif di masyarakat bahwa pelestarian budaya memerlukan wadah konkret serta partisipasi seluruh elemen. Di Dusun Sangkrek, sinergi antara warga, mahasiswa, pemangku kebijakan, pamong, dan pegiat seni budaya berhasil “meruncingkan ujung tombak kebudayaan” agar tajam dan bermanfaat dalam berbagai aspek kehidupan.