JogjaVoice.com – Di sudut desa yang mulai tersentuh betonisasi, nama Mbah Tupon menjadi bisik perlawanan. Bukan perlawanan dengan spanduk atau teriakan, tetapi perlawanan sunyi seorang kakek renta yang bertahan atas haknya, atas tanahnya, atas martabatnya.
Mbah Tupon bukan siapa-siapa di mata hukum modern. Tapi di antara warga, beliau adalah simbol. Simbol tentang bagaimana tanah bisa direbut bukan dengan kekerasan terang-terangan, melainkan lewat birokrasi yang menggilas pelan-pelan.
Dari Ladang ke Tabel-tabel Administrasi
Selama puluhan tahun, Mbah Tupon hidup dari ladang yang diwariskan turun-temurun. Tanah itu bukan sekadar tempat bertani, tapi tempat berakar.
Namun dalam diam, status tanah bergeser.
Peta-peta berubah.
Sertifikat keluar atas nama orang lain.
Dan Mbah Tupon, yang tak fasih berurusan dengan kantor-kantor, kehilangan haknya hanya karena kurang “lengkap” di mata hukum.
Keadilan yang Terlambat, Tapi Tidak Boleh Mati
Ketika suara kecil seperti Mbah Tupon diabaikan, keadilan kehilangan makna.
Ketika para pejabat lebih percaya dokumen daripada kesaksian hidup, hukum menjadi alat kekuasaan, bukan perlindungan.
Keadilan untuk Mbah Tupon adalah tentang lebih dari sekadar pengembalian tanah. Ini tentang mengembalikan penghormatan kepada orang kecil, kepada petani yang membangun negeri ini sejak sebelum negara berdiri.
Yogyakarta, Tanah yang Harus Tetap Ramah
Di tanah yang katanya “istimewa” ini, perjuangan seperti Mbah Tupon mestinya tidak perlu terjadi.
Yogyakarta lahir dari perlawanan terhadap ketidakadilan.
Mestinya, suara seperti Mbah Tupon menggema, bukan dibungkam.
Mestinya, tanah di sini menjadi ruang hidup, bukan sekadar komoditas investasi.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Mendukung gerakan agraria yang adil, bukan sekadar formalitas hukum.
- Mengangkat cerita rakyat kecil ke ruang-ruang publik, agar tak lenyap oleh berita-berita besar.
- Mendorong penyelesaian hukum yang adil dan cepat untuk kasus-kasus agraria rakyat kecil.
Suara Mbah Tupon Adalah Suara Kita Semua
Jika suara Mbah Tupon kita diamkan, jangan salahkan jika suatu hari tanah ini benar-benar kehilangan akarnya.
Keadilan untuk Mbah Tupon bukan hanya untuk seorang kakek renta, tapi untuk memastikan bahwa kita semua masih punya hak untuk hidup bermartabat di tanah ini.
Baca Terus Media Lokal Jogja JogjaVoice.com